25 Tahun APWI: Kepemimpinan yang Tumbuh dari Akar Masyarakat
Mataram,anugerah-media.com
Memperingati 25 tahun Asosiasi Profesi Widyaiswara Indonesia (APWI), NTB menghadirkan sebuah perayaan yang tidak hanya menandai usia, tetapi juga menegaskan dedikasi profesi widyaiswara terhadap pembangunan masyarakat. Tema besar tahun ini menyentuh langsung akar persoalan publik: edukasi, lingkungan, dan kepemimpinan.

Ketua APWI NTB, Dr. H. Muslihin, M.Pd( photo Anugerah Media )
Dalam perbincangan santai di sela kegiatan jalan pagi, Ketua APWI NTB, Dr. H. Muslihin, M.Pd, menekankan peran strategis widyaiswara sebagai pembentuk karakter dan kapasitas kepemimpinan para Aparatur Sipil Negara (ASN). “Melalui lembaga seperti BPSDM, kami membekali peserta dengan wawasan, etika, dan keterampilan yang relevan dengan tantangan sosial di daerah masing-masing,” ujarnya sambil melangkah ringan di sekitar Universitas Mataram.
Ia menambahkan bahwa pelatihan kepemimpinan harus terus beradaptasi dengan dinamika masyarakat, agar para peserta tidak hanya siap secara administratif, tetapi juga tanggap terhadap isu-isu riil di lapangan. Dalam momentum perayaan ini, NTB mengusung pendekatan yang lebih kontekstual dan berdampak, dengan merancang kegiatan yang membuka ruang pembelajaran langsung di tengah masyarakat.
Salah satu kegiatan utama adalah kunjungan ke lokasi pengelolaan sampah organik di Desa Sengkol, Lombok Tengah, tepat di belakang Rumah Sakit Mandalika. Tempat ini bukan sekadar titik pembuangan, melainkan laboratorium sosial yang dikelola oleh warga dengan pendekatan ekonomi sirkular.

Pada Minggu pagi, sepuluh kendaraan Hiace beriringan membawa peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan XIII dan XIV menuju lokasi. Mereka terdiri dari para Kabid, Sekretaris Dinas, dan Direktur RSUP dari berbagai daerah. Antusiasme peserta terlihat jelas saat berdiskusi, mencatat, dan bertanya langsung kepada pengelola. Kunjungan ini menjadi pengalaman nyata yang mempertemukan teori pelatihan dengan praktik lapangan.
Pak Lalu Gunawan, pengelola lokasi tersebut, menjelaskan kepada para peserta bagaimana sistem yang ia kelola mampu mengubah limbah menjadi sumber kehidupan. Sampah organik dari hotel, restoran, dan rumah sakit diangkut secara rutin, lalu diolah menjadi kompos untuk menanam sayuran organik. Selain itu, mereka memproduksi maggot sebagai pakan ternak yang dijual kiloan.
Di tengah masyarakat, sampah kerap menjadi momok yang meresahkan—terutama saat musim penghujan, ketika saluran air tersumbat dan banjir melanda pemukiman. Namun di balik keresahan itu, para peserta menyaksikan langsung bahwa ada individu-individu yang memilih untuk peduli. Mereka mendedikasikan diri untuk menghadirkan solusi nyata terhadap salah satu isu paling kompleks yang dihadapi masyarakat.
Sistem ini tidak hanya mengurangi volume limbah, tetapi juga menciptakan siklus ekonomi mandiri yang melibatkan warga desa secara aktif. Hasilnya bukan sekadar lingkungan yang lebih bersih, tetapi juga peluang pendapatan baru bagi komunitas lokal.

Kepala BPSDM Provinsi NTB, Baiq Nelly Yuniarti.AP.M.Si di dampingi oleh Hj Sriwahyuni S.Pd,M.Pd ,Widyaiswara menuju lokasi ( Photo Anugerah Media )
Kepala BPSDM Provinsi NTB, , Baiq Nelly Yuniarti.AP.M.Si yang menggagas kegiatan ini, turut hadir dan memberikan penjelasan kepada peserta. “Ini bukan pekerjaan mudah,” ujarnya. “Namun inilah studi lapangan pertama yang benar-benar memberi bekal nyata bagi para peserta PKA.” Menurut beliau, isu sampah bukan sekadar persoalan teknis, melainkan tantangan multidimensi yang berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat.
Kegiatan eduwisata kepemimpinan ini, lanjutnya, adalah langkah awal untuk membangun kesadaran kolektif dan membuka ruang solusi. Ia berharap para peserta PKA—yang kelak akan memimpin dinas dan institusi strategis di daerah masing-masing—dapat terinspirasi untuk mendukung dan memperkuat organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pengelolaan lingkungan.
“Ketika mereka kembali ke daerah, saya ingin mereka tidak hanya membawa teori, tetapi juga semangat kolaborasi dan pemahaman yang utuh tentang bagaimana komunitas lokal bisa menjadi mitra strategis dalam pembangunan,” tuturnya dengan tegas.
Dari Widyaiswara untuk Negeri
Perayaan 25 tahun APWI bukan hanya tentang usia, tetapi tentang arah. Tentang bagaimana profesi ini terus relevan, adaptif, dan berdampak. Dari ruang kelas ke lapangan, dari teori ke praktik, dari pelatihan ke pengabdian.
Dan di Desa Sengkol, NTB, semangat itu hidup. Di antara kompos, maggot, dan senyum warga, para widyaiswara dan peserta PKA belajar satu hal penting: bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari memahami dan melayani masyarakat.(AM/W)