Berkunjung ke Perpustakaan Mana Hari Ini?
Oleh Asmedia

KAPAN terakhir kali berkunjung ke perpustakaan?
Pertanyaan ini seakan mengguncang kesadaran kita, terutama ketika setiap tanggal 14
September diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Sejak dicanangkan pada 14
September 1995, peringatan ini dimaksudkan untuk mendorong minat baca masyarakat,
memperkuat budaya literasi, dan menghidupkan kembali fungsi perpustakaan sebagai pusat
pengetahuan.
Namun, setelah hampir juga dekade berlalu, apakah peringatan ini benar-benar
menumbuhkan kebiasaan membaca, atau hanya menjadi agenda seremonial yang diulang
saban tahun tanpa jejak nyata?
Sering kali kita melihat Hari Kunjung Perpustakaan hanya diperingati dengan upacara, pidato,
atau serangkaian kegiatan seremonial yang cepat selesai. Perpustakaan dihias, pengunjung
diberi cenderamata, lalu selesai.
Padahal, esensi dari peringatan ini jauh lebih dalam: bagaimana perpustakaan mampu
menjadi ruang hidup yang dinamis, menjadi jantung pengetahuan, dan bertransformasi
mengikuti kebutuhan zaman.
Maka, refleksi kritis yang perlu kita lakukan adalah menjadikan 14 September bukan sekadar
perayaan, melainkan momentum perubahan paradigma terhadap peran perpustakaan
dalam masyarakat.
Perpustakaan seharusnya tidak bersifat pasif, hanya menunggu pengunjung datang. Di era
banjir informasi digital, perpustakaan harus mengambil langkah aktif, keluar dari sekadar rak-
rak buku, membawa program-programnya ke jantung aktivitas masyarakat.
Sebanyak mungkin kegiatan literasi perlu digagas oleh perpustakaan agar masyarakat tertarik
untuk hadir. Misalnya, bedah buku, kelas menulis kreatif, ruang diskusi tematik, pelatihan
keterampilan berbasis pengetahuan, atau bahkan program literasi digital.
Perpustakaan bisa menjadi rumah bersama tempat gagasan tumbuh dan bertukar pikiran,
bukan hanya ruang hening untuk membaca. Dengan demikian, Hari Kunjung Perpustakaan
akan relevan jika ia menandai lahirnya program-program baru yang menyentuh kebutuhan
pembaca.
Membaca tidak boleh hanya dipahami sebagai aktivitas yang berlangsung di ruang
perpustakaan formal. Membaca adalah kebiasaan yang bisa dilakukan di mana saja: di
rumah, di taman, di halte bus, bahkan di ruang tunggu rumah sakit.
Sila baca puisi sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, berjudul “Kupu-kupu di Dalam Buku”
tentang bagaimana idealnya buku diperlakukan dan ditemukan, di mana saja.
Karena itu, peringatan 14 September harus memperluas makna “berkunjung ke
perpustakaan” menjadi kesadaran untuk selalu dekat dengan buku dan pengetahuan.
Berkunjung ke perpustakaan juga bisa berarti berkunjung ke perpustakaan pribadi di rumah
yang selama ini barangkali jarang didekati apalagi disentuh. Apakah rumah kita memiliki
sudut khusus untuk buku? Atau jangan-jangan rumah kita kosong dari buku, lebih banyak
perabotan di luar buku.
Pertanyaan ini penting, sebab budaya literasi berawal dari ruang terkecil, yaitu rumah.
Rumah yang dipenuhi buku adalah rumah yang penuh kemungkinan. Buku di rumah bukan
hanya koleksi benda mati, melainkan jendela yang membuka cakrawala berpikir anak-anak
dan anggota keluarga lainnya.
Maka, Hari Kunjung Perpustakaan seharusnya juga menjadi ajakan untuk membangun
perpustakaan rumah tangga. Tak perlu besar, cukup rak sederhana dengan buku-buku yang
bervariasi, agar setiap anggota keluarga bisa menemukan bacaan yang sesuai dengan usia
dan minatnya.
Lebih jauh lagi, perpustakaan dapat kita pahami sebagai pintu masuk peradaban. Hampir
semua lompatan besar dalam sejarah manusia berawal dari teks, arsip, dan pengetahuan
yang tersimpan di perpustakaan. Dari perpustakaan-perpustakaan kuno di Mesir, Baghdad,
hingga Eropa abad pertengahan, kita belajar bahwa peradaban lahir dari pengelolaan dan
pewarisan pengetahuan.
Kehancuran perpustakaan besar sering kali diikuti oleh kemunduran peradaban. Artinya,
menjaga perpustakaan tetap hidup sama halnya dengan menjaga nyala peradaban.
Namun, kenyataannya banyak perpustakaan kita masih berkutat pada persoalan klasik: sepi
pengunjung, koleksi yang tidak diperbarui, dan ruang yang tidak ramah bagi pengunjung
muda. Jika hal ini dibiarkan, maka Hari Kunjung Perpustakaan hanya menjadi pengingat pahit
bahwa kita gagal mengelola warisan pengetahuan.
Oleh sebab itu, momentum 14 September harus dimaknai sebagai panggilan untuk
membenahi tata kelola perpustakaan: memperbarui koleksi, membuat ruang lebih interaktuf,
dan memfasilitasi kegiatan literasi yang partisipatif dan berkelanjutan.
Potret lain yang perlu kita sikapi adalah rendahnya kolaborasi antara perpustakaan dengan
komunitas literasi, sekolah, dan masyarakat umum. Padahal, kolaborasi ini pentung agar
perpustakaan tudak menjadi menara gading, melainkan ruang sosial yang membumi.
Jika perpustakaan mampu bekerja sama dengan komunitas baca, kelompok seni, hingga
organisasi pemuda, maka ruang perpustakaan akan hidup dan relevan dengan denyut
masyarakat.
Di era digital, perpustakaan juga ditantang untuk bertransformasi menjadi pusat
pengetahuan yang hibrida. Koleksi digital, e-book, basis data daring, dan layanan literasi
digital adalah keniscayaan. Anak muda tidak bisa dipaksa kembali ke rak-rak buku
konvensional jika tidak ada usaha menyesuaikan dengan cara baca generasi mereka.
Maka, peringatan Hari Kunjung Perpustakaan harus menjadi momentum untuk mendorong
inovasi teknologi di perpustakaan.
Kita sepakat bahwa Hari Kunjung Perpustakaan tidak boleh jatuh dalam jebakan seremoni
tahunan. Ia harus menjadi ruang refleksi kolektif: sudahkah kita membiasakan diri membaca
buku di mana pun? Sudahkah rumah kita dipenuhi buku sehingga menjadi perpustakaan
utama bagi keluarga? Sudahkah perpustakaan di sekolah, kampus, dan daerah menjadi pintu
masuk peradaban yang hidup, bukan sekadar gudang koleksi?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu masih “belum”, maka Hari Kunjung
Perpustakaan seharusnya mengusik nurani kita. Sebab, berkunjung ke perpustakaan
sejatunya bukan hanya datang ke sebuah gedung, melainkan sebuah sikap hidup untuk
senantiasa mendekat pada pengetahuan.
Maka, pertanyaan yang paling reflektif untuk kita ajukan di setuap 14 September adalah:
“Berkunjung ke perpustakaan mana hari ini?” Apakah ke perpustakaan kota, perpustakaan
sekolah, atau sekurang-kurangnya ke perpustakaan pribadi di rumah?
Sebab, rumah yang sepi dari buku adalah rumah yang sunyi dari peradaban. Dan, bangsa
yang sunyi dari perpustakaan adalah bangsa yang kehilangan arah.(*)