Sumbawa

Waktu: Sesuatu Yang Tak Dapat Dipahami Tapi Dapat Dirasakan

Oleh Sri Asmediati, S. Pd

Waktu selalu hadir tanpa wajah. Ia tak pernah memperkenalkan diri, tapi kita tahu ia ada. Setiap helaan

napas adalah bukti kehadirannya. Kita tidak pernah benar-benar memahami apa itu waktu, namun kita

merasakan dinginnya ketika kehilangan, hangatnya ketika mencinta, dan getirnya ketika menyesal.

Waktu adalah arus yang tidak bisa dilawan. Ia membawa kita dari satu tepi ke tepi lain tanpa

menanyakan arah. Kadang kita ingin kembali ke masa yang telah pergi, tapi waktu hanya tertawa dalam

diam — seolah berkata: aku hanya tahu berjalan ke depan.

Ada saat di mana waktu terasa lambat, seperti menahan kita dalam penderitaan yang panjang. Namun

di lain hari, ia berlari terlalu cepat, meninggalkan kita tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Di antara

dua irama itu, kita belajar bahwa waktu bukan ukuran, melainkan pengalaman.

Kita sering berusaha menguasai waktu, menandainya di kalender, menahannya dalam foto,

menuliskannya dalam catatan. Tapi semua itu hanyalah upaya kecil untuk menenangkan kegelisahan.

Sebab waktu tak bisa dimiliki — ia hanya bisa dihayati.

Waktu tak pernah marah, tapi ia bisa menghukum. Ia menghukum dengan lupa, dengan perubahan,

dengan usia yang perlahan meluruhkan segalanya. Namun di balik semua itu, waktu juga memberi:

kedewasaan, pengampunan, dan ruang untuk memahami arti kehilangan.

Mungkin waktu tidak untuk dipahami karena ia adalah misteri yang menjaga keseimbangan antara ada

dan tiada. Kita hidup di dalamnya seperti bayangan yang mencoba memahami cahaya. Kita tak akan

pernah benar-benar mengerti, tapi kita bisa merasakan denyutnya — di dada, di kenangan, di kesunyian

yang panjang.

Ketika kita merasa waktu membenci, mungkin sebenarnya ia sedang memeluk kita dengan cara yang

berbeda. Ia menjauhkan kita dari masa lalu agar kita menemukan makna baru dalam diri. Ia membuat

luka agar kita tahu rasanya sembuh.

Dan akhirnya, kita hanya bisa berdamai dengannya. Tidak lagi berusaha memahami, hanya menyadari

bahwa waktu adalah teman perjalanan yang diam, tapi setia. Ia berjalan bersama kita, menghapus jejak

sekaligus menulis kisah baru. Dalam setiap denyutnya, waktu berbisik: aku tak bisa kau pahami, tapi aku

selalu bersamamu.

Kita dilahirkan ke dunia seolah sedang berada dalam suatu antrean untuk menunggu sesuatu yang

sudah pasti datang: ujung kehidupan. Namun, tidak ada papan antrean, tidak ada urutan, tidak ada

ruang tunggu yang bisa kita lihat. Kita hanya berjalan dalam antrean waktu — antrean tanpa tempat,

tanpa garis, tanpa nomor urut. Semua orang ada di dalamnya, meski tak seorang pun tahu kapan

namanya akan dipanggil.

Kadang kita merasa waktu berjalan lambat, kadang begitu cepat. Kita berusaha menandainya dengan

kalender, jam, atau ulang tahun, padahal waktu tidak mengenal tanda. Ia bergerak diam-diam, mengikis

usia tanpa kita sadari. Kita menunggu sambil hidup, atau hidup sambil menunggu — keduanya sama

saja. Karena yang kita tunggu bukan sesuatu yang datang dari luar, tetapi sesuatu yang pelan-pelan

datang dari dalam diri sendiri.

Dalam antrean waktu, tidak ada yang berdiri paling depan atau paling belakang. Semua bergerak

bersamaan dalam arah yang sama — menuju akhir yang tak bisa dihindari. Kadang kita melihat ada yang

tiba-tiba pergi lebih cepat, dan kita bertanya dalam hati: “Mengapa dia duluan?” Pertanyaan itu sering

berubah jadi kecewa, bahkan marah, karena hati manusia sulit berdamai dengan kehilangan.

Namun, mungkin mereka yang pergi lebih dulu justru sudah selesai dengan tugasnya. Mereka sudah

mengembalikan pinjaman waktu yang diberikan. Sementara kita yang masih di sini, berarti masih ada

yang harus dijalani, diperbaiki, atau dipahami. Maka, kemarahan itu perlahan luluh ketika kita sadar

bahwa panjang pendeknya waktu bukan ukuran nilai hidup seseorang.

Antrean waktu tidak punya tempat, karena ia terjadi di dalam diri kita. Ia bukan barisan tubuh,

melainkan arus kesadaran. Setiap keputusan, setiap penyesalan, setiap kasih dan luka — semuanya

bagian dari perjalanan itu. Kita tidak tahu kapan langkah berhenti, tapi kita tahu bahwa setiap langkah

adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik sebelum giliran tiba.

Mungkin, yang membuat hidup ini berharga bukan lamanya kita menunggu, tapi bagaimana kita mengisi

waktu saat menunggu. Dalam keterbatasan itu, kita belajar mencintai, memaafkan, dan memberi

makna. Kita tidak bisa mempercepat atau memperlambat antrean, tapi kita bisa memilih bagaimana

menatap waktu yang tersisa.

Pada akhirnya, antrean waktu hanyalah perjalanan menuju kepulangan. Tidak perlu terburu-buru, juga

tidak perlu menolak. Kita cukup berjalan dengan tenang, sebab waktu tahu kapan saatnya memanggil.

Dan ketika nama kita disebut, semoga kita sudah siap — bukan dengan ketakutan, tapi dengan

penerimaan yang penuh.

Karena hidup hanyalah sejenak dalam antrean waktu tanpa tempat, di mana setiap detik adalah

anugerah, dan setiap napas adalah izin untuk masih menunggu.(*)

Tinggalkan Balasan