Festival Tunas Bahasa Ibu 2025, Bahasa Ibu Bukan Nostalgia-Gen-Z Sasambo Membuatnya Relevan Lago
Oleh Redaksi Anugerah Media Sumbawa
Mataram, NTB — Di tengah derasnya arus digital dan dominasi gadget, generasi muda kini hidup dalam dunia serba cepat dan virtual. Namun di balik layar dan algoritma, ada warisan yang tak boleh hilang: bahasa ibu. Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 yang digelar oleh Balai Bahasa Provinsi NTB pada 25–27 Oktober di Hotel Lombok Raya, Mataram, menjadi ruang perjumpaan antara tradisi dan generasi. Di sinilah anak-anak Sasambo—Sasak, Samawa, dan Mbojo—bertemu, bertutur, dan tertawa dalam bahasa mereka sendiri.

Roy Kasman, facilitator dan narasumber ( Foto: Anugerah Media Sumbawa)
Tujuh Mata Lomba FTBI 2025, Dari Mendongeng hingga Ngumang
Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 bukan sekadar ajang perlombaan. Ia adalah gerakan kebudayaan yang menyentuh akar komunitas, menghidupkan kembali bahasa daerah di tengah generasi muda. Diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi NTB, festival ini menghadirkan tujuh mata lomba untuk jenjang SD dan SMP, khususnya dalam bahasa Sasak, Samawa, dan Mbojo.
Adapun jenis lomba yang dipertandingkan meliputi:
- Mendongeng bahasa daerah
 - Komedi tunggal (Ngumang)
 - Pidato bahasa daerah
 - Nembang/Basakeco/Tembang Dali
 - Menulis cerita pendek
 - Baca puisi
 - Menulis aksara daerah
 
Setiap kategori dirancang untuk menggali potensi siswa dalam berbahasa, bercerita, dan mengekspresikan nilai-nilai lokal. Tahun ini, salah satu yang paling menyita perhatian adalah Ngumang, atau komedi tunggal berbahasa daerah. Di atas panggung, anak-anak tampil percaya diri, menyampaikan kritik sosial dan cerita keseharian dengan gaya jenaka khas kampung halaman mereka.
Foto dokumentasi Anugerah Media Sumbawa
Lewat tawa dan tepuk tangan penonton, bahasa daerah pun hidup kembali—bukan sekadar dalam buku pelajaran, tetapi dalam interaksi nyata yang menghibur dan menyentuh. FTBI menjadi bukti bahwa bahasa ibu bisa tampil segar, relevan, dan membanggakan di mata generasi muda.
Menurut Roy Kasman, fasilitator dari Balai Bahasa NTB,menyampaikan pentingnya regenerasi penutur bahasa daerah serta peran anak muda dalam menjaga warisan budaya. Ia kerap mendampingi proses seleksi, pembinaan, dan pelaksanaan lomba, khususnya dalam konteks revitalisasi bahasa Sasak, Samawa, dan Mbojo tujuan utama FTBI adalah meregenerasi penutur aktif bahasa daerah. “Kami ingin anak-anak tidak hanya bisa berbahasa, tapi juga bangga. Bahasa daerah bukan peninggalan, tapi identitas yang hidup. Lewat Ngumang, mereka belajar menyampaikan gagasan dengan cara yang dekat dan menghibur,” ujarnya.
.FTBI juga menjadi ruang persaudaraan. Di tengah dominasi media sosial yang sering membuat anak-anak larut dalam dunia virtual, festival ini mengajak mereka kembali ke akar. Mereka bertemu, saling menyapa, dan mengenali perbedaan sebagai kekayaan. Bahasa daerah menjadi jembatan, bukan sekadar alat komunikasi, tapi pengikat rasa.
Salah satu guru pendamping dari Kecamatan Utan, Fitri Nuryasari, menyampaikan bahwa anak-anak yang ia bimbing merasa dihargai. “Mereka terbiasa dengan layar dan aplikasi, tapi di sini mereka tampil di panggung, berinteraksi langsung, dan membawa cerita dari kampung halaman mereka. Ini pengalaman yang membekas. Kami mendampingi bukan hanya untuk menang, tapi untuk membangun karakter dan cinta budaya,” ungkapnya.
Guru pendamping dari Kecamatan Utan, Sumbawa—ibu Fitri Nuryasari (kiri) dan ibu Atik Pelangi (kanan)—berpose bersama anak didik mereka yang menjadi peserta lomba dalam Festival Tunas Bahasa Ibu 2025. ( foto dokumen pribadi)
Meski tidak bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, esensi FTBI tetap relevan: menanamkan kebanggaan, memperkuat akar budaya, dan membangun generasi yang sadar akan warisan leluhur mereka. Di panggung Ngumang, di bait puisi, dan di cerita pendek yang ditulis dengan ejaan lokal, bahasa ibu kembali bersuara.
Dan suara itu bukan suara masa lalu. Ia adalah suara masa depan.(AM/w)