Guru Tak Butuh Sorotan, Tapi Layak Diberi PenghargaanDedikasi Guru dalam Senyap — Potret MGMP Bahasa Inggris Lombok Barat
Oleh: karyn rahman

Di tengah riuh rendah wacana publik tentang anggaran dan prioritas negara, satu hal tetap sunyi namun pasti: dedikasi para guru. Mereka tidak menuntut sorotan, tidak meminta tepuk tangan. Namun setiap pagi, mereka hadir—dengan hati yang penuh, pena yang menulis masa depan, dan semangat yang tak pernah padam meski dukungan sering kali minim.
Di negeri yang sibuk menghitung anggaran dan merancang prioritas, ada sekelompok orang yang tak pernah berhenti memberi, meski jarang dihitung. Mereka tidak tampil di layar utama, tidak berdiri di podium kebijakan. Namun setiap pagi, mereka hadir—dengan hati yang penuh, semangat yang menyala, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan panjang yang layak ditempuh.
MGMP Bahasa Inggris Lombok Barat adalah cerminan nyata dari semangat itu. Sejak tahun 2010, para guru Bahasa Inggris di wilayah ini telah membangun ruang belajar bersama yang mandiri, berlandaskan gotong royong dan cinta profesi. Tanpa subsidi rutin, mereka menyisihkan Rp20.000 per bulan—bukan karena mereka mampu, tetapi karena mereka peduli. Dana itu digunakan untuk menghadirkan narasumber, menyediakan konsumsi, dan menopang administrasi. Semua demi satu tujuan: meningkatkan kualitas pembelajaran bagi murid-murid mereka.

PHOTO: Dokumentasi aktifitas para guru anggota mgmp dalam peningkatan kompetensi menuju pendidikan berkualitas.
Ironisnya, di saat guru terus berjuang dari kantong sendiri, pernyataan kontroversial dari pejabat negara justru menyulut luka. Ketika dedikasi dipertanyakan, dan profesi guru seolah direduksi dalam angka dan asumsi, kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar memahami nilai dari seorang pendidik?
Ini bukan sekadar soal uang. Ini soal pengakuan. Guru-guru yang tergabung dalam MGMP tidak menunggu perintah untuk berbuat baik. Mereka tahu panggilan hati mereka. Mereka tahu bahwa kualitas pembelajaran adalah cerminan dari kualitas guru. Namun, dukungan moral dan material tetap penting agar semangat ini tidak padam di tengah keterbatasan.
MGMP—Musyawarah Guru Mata Pelajaran—bukan sekadar forum diskusi. Ia adalah wujud nyata dari komitmen para pendidik yang ingin memberi lebih, belajar lebih, dan berbagi lebih. Melalui pertemuan rutin, pelatihan, dan diskusi kurikulum, para guru saling menguatkan dalam menghadapi tantangan pembelajaran yang terus berubah.
Di bawah kepemimpinan Bapak Rahman, S.Pd., M.Pd., dan dukungan para pengurus seperti Ibu Sari Wijayanti, S.Pd.—Wakil Kepala SMP Labuapi sekaligus mantan bendahara English Club—MGMP Bahasa Inggris Lombok Barat terus bergerak sebagai wadah profesional yang hidup dan bernapas. Organisasi ini bukan sekadar forum rutin, melainkan ruang jiwa tempat para guru saling menguatkan, belajar, dan bertumbuh.
Menurut Ibu Sari Wijayanti, semangat para anggota MGMP bukanlah semangat biasa. Mereka rela menempuh perjalanan lintas daerah, mengikuti pelatihan di luar wilayah, bahkan menggunakan dana pribadi demi satu tujuan: meningkatkan kualitas diri agar bisa memberi yang terbaik bagi anak-anak bangsa. Mereka tidak menunggu fasilitas datang; mereka bergerak lebih dulu, dengan tekad yang melampaui batas administratif.
Namun, semangat ini tidak seharusnya berjalan sendiri. Sudah saatnya pemerintah melihat MGMP bukan hanya sebagai kegiatan rutin, tetapi sebagai investasi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia. Dukungan nyata—baik dalam bentuk pendanaan, fasilitasi pelatihan, maupun pengakuan kelembagaan—akan menjadi bahan bakar bagi gerakan ini agar tidak hanya bertahan, tetapi melesat maju.
Guru yang belajar tanpa diminta, yang berkorban tanpa diminta, adalah aset bangsa yang tak ternilai. Maka, mendukung mereka bukan sekadar tugas birokrasi, melainkan bentuk penghormatan terhadap masa depan Indonesia.
Kini, saatnya pemerintah membuka mata dan hati. Karena di balik setiap guru yang berjuang mandiri, ada generasi yang menunggu untuk dibimbing dengan lebih baik. Dukungan bukan sekadar anggaran, melainkan pengakuan bahwa profesi guru adalah fondasi peradaban.
Jika guru rela berjalan jauh demi ilmu, maka bangsa ini harus rela melangkah bersama mereka. Sebab kemajuan tidak lahir dari gedung megah, tetapi dari hati yang bersedia mendengar, menghargai, dan mendukung mereka yang mendidik dengan cinta.
Ketika pernyataan kontroversial dari pejabat negara menyulut luka, para guru tetap memilih berdiri. Mereka tahu panggilan hati mereka. Maka, sudah waktunya kita berhenti menuntut lebih dari guru—dan mulai memberi lebih untuk mereka. Karena di balik setiap anak yang berhasil, ada guru yang tetap melangkah, meski jalan tak selalu terang.
Mereka bukan sekadar pelaksana kurikulum, tetapi penjaga nyala intelektual dan emosional anak-anak bangsa. Di ruang kelas yang sederhana, di tengah keterbatasan fasilitas, para guru terus menanamkan nilai, membentuk karakter, dan menumbuhkan harapan. Mereka hadir bukan karena gaji yang menjanjikan, melainkan karena keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan perubahan. Maka, jika bangsa ini benar-benar ingin maju, penghargaan terhadap guru bukanlah pilihan—melainkan keharusan yang tak bisa ditunda.(*)