Mataram

Ketika Wakil Tak Lagi Mewakili—Rakyat Menuntut Pemulihan Demokrasi

Oleh:  Karyn Rahman

Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan yang mendalam. Bukan karena bencana alam, bukan karena perang, melainkan karena luka yang ditorehkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung: para wakil rakyat. Kekecewaan masyarakat telah menumpuk, membentuk gunung kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Rakyat yang dahulu menitipkan harapan kepada parlemen kini merasa dikhianati oleh mereka yang justru sibuk menjaga kenyamanan sendiri.

Di tengah kesulitan ekonomi yang mencekik, pemerintah menaikkan pajak melalui kebijakan fiskal yang dipimpin oleh Menteri Keuangan. Alih-alih empati, rakyat disuguhi pernyataan-pernyataan dingin yang seolah tak memahami penderitaan mereka. Sementara itu, korupsi terus terbongkar, memperlihatkan betapa jauhnya para pejabat dari nilai-nilai kejujuran dan pengabdian.

Yang paling menyakitkan adalah ironi yang terpampang jelas: wakil rakyat berjoget di ruang sidang, sementara rakyat yang mereka wakili terengah-engah mencari nafkah. Di saat tunjangan mereka dinaikkan, rakyat justru dipaksa membayar lebih untuk bertahan hidup. Ketimpangan ini bukan sekadar statistik, melainkan luka sosial yang menganga.

         Photo sumber : Google

Demonstrasi pun pecah. Rakyat bergerak serentak di berbagai daerah, bukan karena dorongan politik, tetapi karena rasa muak yang tak tertahankan. Kantor-kantor wakil rakyat dibakar, rumah pejabat porak-poranda. Penjarahan terjadi, korban jiwa pun tak terelakkan. Dunia internasional mulai menyoroti Indonesia, bukan karena prestasi, tetapi karena kegagalan mendengar jeritan rakyat.

Penjarahan memang bukan solusi. Tapi kepada para pejabat, bukalah mata: itu adalah cermin dari kesenjangan sosial yang kalian abaikan. Ketika rakyat berjuang untuk makan, kalian justru menambah fasilitas. Ketika rakyat meminta keadilan, kalian sibuk menjaga privilese.

Seruan untuk membubarkan DPR menggema. Namun secara konstitusional, hal itu tidaklah mudah. Pasal 7C UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Pembubaran hanya mungkin terjadi melalui amandemen konstitusi oleh MPR, sebuah proses panjang yang memerlukan konsensus politik dan kehendak rakyat yang terorganisir.

Indonesia saatnya berbenah. Demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan. Demokrasi adalah kepercayaan, adalah keberpihakan, adalah empati terhadap mereka yang paling lemah. Jika wakil tak lagi mewakili, maka rakyat akan mencari jalan lain untuk bersuara. Dan suara itu, jika terus diabaikan, bisa berubah menjadi badai yang mengguncang fondasi bangsa.

Kita tidak sedang membutuhkan lebih banyak janji. Kita membutuhkan keberanian untuk berubah. Untuk kembali menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai panggung kemewahan. Indonesia tidak boleh tenggelam dalam pengkhianatan. Ibu pertiwi terlalu berharga untuk dibiarkan sakit oleh mereka yang seharusnya menyembuhkan.

Rakyat Indonesia bukan massa yang mudah dibungkam. Kita adalah pemilik sah negeri ini. Kita berhak atas keadilan, kesejahteraan, dan kepemimpinan yang jujur. Jika wakil tak lagi mewakili, maka rakyat harus menjadi suara yang tak bisa diabaikan.

Harapan ke depan bukan sekadar pergantian pejabat. Harapan kita adalah lahirnya budaya politik baru—yang berpihak, yang mendengar, yang melayani. Indonesia harus berbenah, bukan hanya secara sistem, tetapi secara nurani.(*)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Exit mobile version