Penulis: Karyn Rahman

Beberapa bulan terakhir, kasus korupsi besar-besaran di Pertamina sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia belum sempat move on dari kasus yang melibatkan suami seorang artis terkenal, yang menjadi sorotan besar di tengah masyarakat. Kini di hadap kan dengan kasus baru, kasus ini tidak hanya menimbulkan kerugian besar bagi negara, tetapi juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Korupsi seharusnya menjadi musuh bersama, namun tampaknya korupsi masih tetap mengakar di birokrasi meskipun gaji dan fasilitas yang diberikan sangat tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Mengapa orang yang sudah mempunyai kekayaan dan pendapatan luar biasa masih cenderung melakukan korupsi? Kasus korupsi dan dampaknya Kasus korupsi di perusahaan minyak nasional itu melibatkan sejumlah pejabat senior yang diduga melakukan manipulasi tata kelola impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Praktik ilegal ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah, namun juga berdampak langsung pada masyarakat seperti kenaikan harga bahan bakar dan penurunan kualitas bahan bakar yang tersedia di pasar. Skandal ini memperkuat pandangan bahwa korupsi bukan sekedar kejahatan ekonomi namun merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.

Photo sumber: Tribunesnews.com
Menurut Laporan Kompas (2025), manipulasi ini telah merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun, dengan pola besar antara lain ekspor minyak mentah dalam negeri secara ilegal, impor dengan harga lebih tinggi melalui perantara, dan tuduhan bahan bakar campuran yang menyebabkan kualitas produk lebih rendah. Masyarakat yang seharusnya mendapat pelayanan terbaik dari BUMN justru menjadi korban keserakahan segelintir elit yang mengutamakan kepentingan pribadi.
Mengapa pejabat berani melakukan korupsi?
Pejabat dengan penghasilan besar sering kali tetap melakukan korupsi karena berbagai alasan, termasuk keserakahan yang tidak terbatas, budaya korupsi yang telah terinternalisasi, rendahnya rasa takut akan hukuman, dan lemahnya pengawasan. Filsafat klasik seperti dalam Republik oleh Plato menjelaskan bahwa manusia cenderung tidak pernah puas, bahkan ketika sudah memiliki kekayaan. Max Weber menyoroti bahwa birokrasi yang tidak terkontrol membuka peluang bagi korupsi sistemik. Hukuman yang dianggap terlalu ringan di Indonesia juga tidak memberikan efek jera. Secara historis, korupsi sudah ada sejak zaman kekaisaran seperti Romawi dan Dinasti Han di Tiongkok, di mana penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi sering terjadi. Filosof seperti Niccolò Machiavelli dan Immanuel Kant membahas bahwa kekuasaan memiliki potensi untuk disalahgunakan dan hanya institusi yang kuat serta prinsip moral universal yang dapat mencegah korupsi
Korupsi di perusahaan minyak nasional dan institusi lainnya menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar perilaku individu, melainkan penyakit sistemik yang membutuhkan reformasi menyeluruh. Untuk mengatasinya, diperlukan langkah-langkah seperti memperkuat pengawasan melalui teknologi digital dan audit transparan, meningkatkan hukuman agar memberikan efek jera, menanamkan budaya integritas melalui pendidikan antikorupsi sejak dini, serta memberikan perlindungan hukum bagi pelapor. Korupsi merupakan ancaman utama bagi kemajuan nasional yang, jika dibiarkan, dapat merusak perekonomian serta moral dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upaya kolektif diperlukan untuk menciptakan sistem yang bebas korupsi demi masa depan yang lebih adil dan sejahtera.(*)