Oleh: Karyn Rahman

Di tengah arus globalisasi yang kian mendominasi, warisan budaya lokal kerap tersisihkan. Namun, di balik modernisasi, terdapat sosok-sosok inspiratif yang gigih mempertahankan nilai-nilai luhur suatu peradaban. Dr.H. Lalu Sajim Sastrawan, SH, MH, seorang budayawan sekaligus tokoh adat Sasak, merupakan salah satu figur yang terus mengukir perjuangan dalam melestarikan budaya leluhur yang kian tersudut oleh perubahan zaman.
Sore itu, sambil menikmati secangkir kopi di kediaman beliau yang menghadirkan nuansa hangat, saya berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengannya. Percakapan kami berlangsung bukan di dalam ruangan, melainkan di halaman yang asri, nan luas dan sejuk, dengan lantai berugak kayu khas Sasak. Suasana alam yang menenangkan itu semakin mendalamkan makna setiap kata yang diutarakan, seolah mengajak kami untuk merenungkan setiap nilai budaya yang tengah tergerus oleh zaman.

Photo: Dr.H. Lalu Sajim Sastrawan,SH.MH
Dengan penuh keyakinan, Dr. Lalu atau lebih akrab kami memanggil beliau Mamiqda , menjelaskan bahwa setiap tradisi memiliki inti nilai etika dan moral yang sarat makna. “Setiap budaya itu pasti arif dan mengandung nilai-nilai etika moral yang tinggi dan penuh makna,” ujarnya. Dalam pengamatannya, pergeseran nilai telah terjadi karena penanaman budaya di rumah mulai tergeser oleh mekanisme pendidikan formal, di mana istilah keakraban tradisional seperti “Amaq” dan “Mamiq” perlahan tergerus oleh istilah yang lebih modern seperti “Bapak.”
Mamiq Sajim mengungkapkan bahwa upaya pelestarian budaya Sasak telah dijadikan agenda strategis. Di wilayah Lobar dan Loteng, misalnya, budaya lokal kini mulai dijadikan bagian dari kurikulum melalui program “Sabtu Budaya.” Setiap hari Sabtu, tim pelestarian dengan cermat mengunjungi SMA, SMK, dan sekolah luar biasa, mengajak para siswa untuk mengenali kembali jati diri mereka melalui ungkapan tradisional, cerita rakyat, dan ritual yang mengandung nilai-nilai luhur. Langkah ini diharapkan mampu mengembalikan kecintaan generasi muda kepada budaya lokal yang selama ini mulai terkikis oleh pesona peradaban luar.
Diskusi kami berlangsung dengan penuh kehangatan dan intelektualitas. Seiring sore semakin beranjak, setiap pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan lugas dan bijaksana. Meski setiap jawaban membawa kepuasan dan pemahaman yang mendalam, suasana itu juga menyisakan rasa penasaran yang terus bergulir—seolah keberadaan tradisi mengundang pertanyaan-pertanyaan baru tentang bagaimana mengimbangi modernisasi dengan pelestarian identitas budaya. Hal ini menjadi bukti bahwa mempertahankan warisan bukanlah sekedar menghafal masa lalu, tetapi juga membangun jembatan bagi masa depan yang harus selalu siap menghadapi tantangan zaman.
Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan, SH, MH, dengan segala kecerdasan dan kebijaksanaannya, telah menyalakan kembali obor perlawanan terhadap erosi budaya. Melalui langkah strategis, baik di ranah pendidikan maupun pariwisata, beliau menunjukkan bahwa pelestarian tradisi adalah tugas bersama yang harus melibatkan semua elemen masyarakat. Di tengah dinamika zaman, warisan budaya Sasak mendesak kita untuk selalu mempertanyakan, menggali, dan mengadaptasi tanpa mengorbankan nilai-nilai asli yang telah membentuk identitas kita.
Dalam suasana diskusi santai yang tetap sarat makna, saya mengajukan pertanyaan kepada Mamiq, “Apakah perlu ada batasan bagi wisatawan asing agar mereka tidak bertindak di luar kendali seperti yang terjadi di Bali? Apa yang bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian budaya kita?”
Mamiq tersenyum, menyesap kopi sebelum menjawab dengan tenang, “Ketika seseorang ingin belajar ke Australia, Eropa, atau Amerika, mereka harus melewati TOEFL sebagai pintu masuk. Itu bukan sekadar ujian bahasa, tetapi sebuah bentuk kesediaan untuk mengikuti aturan dan budaya negara yang dituju. Hal yang sama harus diterapkan kepada wisatawan asing yang datang ke Lombok. Mereka harus memahami bahwa mereka sedang memasuki wilayah dengan adat dan budaya yang harus dihormati. Jika tidak ada batasan yang jelas, kita bisa kehilangan jati diri kita sendiri.”
Beliau melanjutkan dengan nada penuh kebijaksanaan, “Aturan yang ketat tidak berarti menutup diri dari wisatawan. Justru dengan adanya regulasi yang tegas, kita bisa menjadikan Lombok sebagai destinasi yang tetap ramah tetapi berbudaya. Penting untuk memberikan edukasi kepada wisatawan, baik melalui informasi di bandara, papan pengumuman di tempat wisata, maupun sosialisasi oleh komunitas lokal. Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus berperan aktif, menunjukkan sikap yang tegas namun tetap sopan ketika melihat pelanggaran terhadap adat dan norma kita. Jika wisatawan tahu batasan yang harus mereka hormati, maka keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian budaya dapat tercapai.”
Diskusi semakin menghangat dengan gagasan-gagasan yang muncul. Semua sepakat bahwa wisatawan asing harus diberi pemahaman yang jelas tentang aturan dan adat di Lombok agar mereka tidak bertindak semaunya. Di tengah perbincangan itu, harapan pun tumbuh—bahwa suatu saat Lombok bisa menjadi contoh ideal bagi pariwisata yang berkembang tanpa mengorbankan budaya asli yang telah diwariskan turun-temurun.
Pertemuan sore itu tidak hanya menjadi kesempatan untuk menyerap pengetahuan, tetapi juga momen refleksi mendalam yang memicu benih-benih pemikiran baru. Setiap jawaban yang beliau berikan, meski memuaskan rasa ingin tahu, justru membuka ruang bagi pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang menuntut explorasi lebih jauh mengenai bagaimana menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya. Di sinilah letak keindahan perjuangan, sebuah dialog yang abadi antara tradisi dan inovasi.
Bagaimana menurut Anda, strategi apa lagi yang dapat diimplementasikan untuk memastikan bahwa modernisasi tidak mengikis esensi budaya yang telah terjaga sejak lama? Sungguh, perjalanan pelestarian budaya Sasak adalah sebuah simfoni yang terus berirama, menyuarakan kebutuhan untuk mengharmoniskan nilai masa lalu dengan dinamika masa depan.(AM/*)