Mataram

Parlemen Kehilangan Wibawa karena Diisi oleh Wakil Rakyat yang Minim Etika dan Rendah Kapasitas SDM

Oleh : Karyn Rahman

Lagi, dan lagi. Kontroversi demi kontroversi kembali mencuat dari perilaku wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan, namun justru menunjukkan adab yang menyimpang. Kali ini, Sebuah video viral kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap wakil rakyat. Dalam rekaman tersebut, seorang anggota DPRD Provinsi Gorontalo melontarkan candaan yang tidak hanya tidak lucu, tapi menyakitkan: “Kita hari ini menuju Makassar menggunakan uang negara. Kita rampok saja uang negara ini, kita habiskan saja biar negara ini, semakin miskin.”

Wahyudin Moridu, anggota dewan dari Fraksi PDIP, yang mengaku sedang dalam kondisi mabuk dan tidak sadar sedang direkam. Dia bukan satu satu nya anggota dewan dengan SDM rendah, kalau menurut saya , hanya kebetulan dia yg mencuat ke permukaan perilaku nya dibanding yang lain nya.

Karena ucapan tersebut bukan sekadar lelucon mabuk. Ia adalah cermin dari mentalitas yang mengkhianati amanah rakyat. Di tengah penderitaan masyarakat, candaan tentang merampok uang negara tak ubahnya seperti bercanda soal bom di dalam pesawat—mengundang kepanikan, kemarahan, dan rasa tidak aman.

Tak lebih parah dari mereka yang berjoget dan membuat parodi di atas penderitaan rakyat. Di saat masyarakat berjuang menahan beban hidup, wakilnya justru menari di panggung kekuasaan, seolah tak ada yang salah. Kurangnya etika komunikasi adalah cerminan lemahnya keterampilan mereka dalam mewakili rakyat. Mereka gagal menjaga martabat jabatan, terseret dalam isu sosial yang memperlihatkan betapa minimnya integritas, disiplin, dan komitmen terhadap tugas legislatif.

Indonesia, dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 286 juta jiwa pada tahun 2025, mustahil tidak memiliki sosok yang layak dan mampu mewakili rakyat dengan kompetensi dan kepedulian yang tulus. Lalu ke mana mereka yang memiliki ilmu, kecerdasan, dan hati yang berpihak pada rakyat Indonesia yang kini redup dan butuh cahaya untuk bangkit kembali?

Apakah mereka tak berkesempatan untuk maju karena tak memiliki modal finansial yang cukup untuk menembus kursi empuk—dan panas—di parlemen? Jika demikian, maka sistem kita sedang menutup pintu bagi mereka yang seharusnya menjadi harapan bangsa.

Dan kepada masyarakat kita, jangan sepenuhnya menyalahkan jika yang duduk di atas sana adalah mereka yang tak berkompeten, dengan SDM rendah. “You’re the people who chose them!” Demokrasi memberi hak suara, tapi juga tanggung jawab untuk memilih dengan bijak. Sekarang, ketika kekacauan terjadi dan kemarahan dilampiaskan dengan menjarah atau menuntut pembubaran lembaga, bukan lah solusi, ingatlah: mereka dilindungi oleh undang-undang. Tidak semudah itu membubarkan institusi yang telah diatur dalam konstitusi dan dijaga oleh sistem hukum yang kompleks.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, setiap tindakan harus melalui mekanisme hukum, bukan sekadar desakan emosional. Pembubaran lembaga legislatif, misalnya, bukan hanya tidak realistis, tapi juga berisiko merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Seruan untuk Perubahan yang Berani

Tak ada yang bisa mengubah keadaan kecuali kita sendiri. Bukan dengan amarah yang membabi buta, bukan dengan menjarah atau membakar simbol kekuasaan. Tapi dengan saling mendukung, membangun kesadaran kolektif, dan berani menantang sistem yang selama ini memberi ruang bagi para “tikus-tikus” yang bersembunyi di sudut meja dan kursi jabatan.

Sudah saatnya kita mendorong lahirnya : undang-undang perampasan aset, yang benar-benar dijalankan, bukan sekadar wacana. “Miskinkan koruptor”, cabut hak politik mereka, jangan beri tempat dan peluang untuk nyaleg kembali. Jangan biarkan uang menjadi satu-satunya tiket menuju parlemen. Kursi legislatif bukan panggung hiburan, bukan tempat berjoget di atas penderitaan rakyat.

Untuk para calon legislatif: jangan hanya bermodal uang. Harus benar-benar berkompeten, memiliki visi yang jelas dalam membawa aspirasi rakyat yang kalian wakili. Miliki keterampilan komunikasi yang bukan hanya akademik, tapi juga kompetensi yang pantas dan pemahaman yang dalam tentang ilmu kenegaraan dan kepemimpinan publik. Agar ketika kalian berjoget, rakyat pun ikut berjoget—bukan karena tertawa getir, tapi karena merayakan keberhasilan kerja kalian.

Karena kebahagiaan rakyat bukanlah parodi. Ia adalah hasil dari kerja nyata, dari kebijakan yang berpihak, dari keberanian untuk berkata benar dan bertindak adil. Dan jika kalian tak mampu mewujudkan itu, maka kalian tak layak duduk di sana.(AM/*)

Tinggalkan Balasan