Sekolah Rakyat: Cahaya Pendidikan dari Pemerintah untuk Anak-anak dalam Kemiskinan Ekstrem

Wajah-wajah penuh harapan dan semangat dari anak-anak Sekolah Rakyat. Di tengah keterbatasan, mereka berdiri tegak—menyambut masa depan dengan senyum dan keberanian.(photo: AMS)
Di tengah realitas sosial yang masih menyisakan ketimpangan, pemerintah Indonesia menghadirkan sebuah terobosan nyata: Sekolah Rakyat. Program ini bukan sekadar inisiatif pendidikan, melainkan wujud komitmen serius negara untuk memutus rantai kemiskinan ekstrem dan membuka akses belajar bagi anak-anak yang selama ini hidup di luar jangkauan pembangunan dan teknologi.
Untuk mewujudkan program Sekolah Rakyat sebagai solusi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, pemerintah Indonesia menggerakkan lintas kementerian secara terpadu. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bertanggung jawab atas kurikulum, pelatihan guru, dan sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dari latar belakang rentan. Kementerian Sosial (Kemensos) menyediakan data keluarga miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan mendampingi proses penjaringan siswa berdasarkan kategori Desil 1 dan 2 menurut standar BPS. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berperan dalam pembangunan dan renovasi fasilitas sekolah, termasuk bedah rumah bagi keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal layak. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendukung aspek kesehatan anak-anak melalui pemeriksaan rutin, sanitasi, dan pemenuhan gizi dasar. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memastikan koordinasi antar pemerintah daerah dan desa, serta mendorong pembangunan komunitas. Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengawal kebijakan lintas sektor agar program Sekolah Rakyat selaras dengan agenda nasional pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Potret kebersamaan di lingkungan sekolah—tiga pendidik yang siap menyambut hari dengan semangat dan ketulusan. Ruang kelas bukan hanya tempat belajar, tapi ruang tumbuh bersama.(PHOTO AMS)
Saat ini, Sekolah Rakyat jenjang pendidikan dasar beroperasi di Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, NTB. Bangunan yang digunakan masih bersifat sementara, berlokasi di kompleks SKB Gunung Sari, sambil menunggu rampungnya gedung permanen yang memang dirancang khusus untuk anak-anak dari latar belakang kemiskinan ekstrem. Pembangunan fasilitas ini dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan rampung dalam waktu singkat—hanya 1,5 bulan.
Potret anak-anak dan IBU KEPALA Sekolah Rakyat di Lombok Barat( di tengah ). Program ini menjadi wujud nyata kolaborasi lintas kementerian dalam menghadirkan pendidikan inklusif dan pengentasan kemiskinan ekstrem.( photo AMS)
Siswa-siswi Sekolah Rakyat berasal dari keluarga yang masuk kategori Desil 1 dan 2 menurut standar Badan Pusat Statistik (BPS). Apa itu desil?
- Desil 1: Kelompok 10% masyarakat dengan pengeluaran per kapita terendah. Mereka hidup dalam kemiskinan ekstrem—tanpa rumah layak, pekerjaan tetap, atau akses pendidikan dan layanan dasar.
- Desil 2: Kelompok 10% berikutnya, masih tergolong miskin dan sangat rentan secara sosial dan ekonomi.
- Desil 3: Kelompok 10% ketiga dari bawah, mulai mendekati garis kemiskinan namun belum stabil.
Anak-anak dari kelompok ini selama ini tidak tersentuh oleh pembangunan dan teknologi. Mereka berasal dari kampung-kampung terpencil seperti Sekotong, Batu Layar, dan wilayah pedalaman lainnya. Dengan segala keluguan dan semangat belajar, mereka kini menikmati fasilitas yang disediakan pemerintah: seragam, sepatu, tas, buku, hingga asrama putra-putri yang dirancang untuk mendukung proses belajar mereka secara menyeluruh.
Salah satu tokoh penting dalam pelaksanaan program Sekolah Rakyat adalah Ibu Lilik Fadlillah, M.Pd, seorang guru yang benar-benar mendedikasikan diri untuk pendidikan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Beliau tidak hanya memimpin proses pembelajaran, tetapi juga berperan sebagai pengasuh, pendamping, dan penggerak harapan bagi anak-anak yang selama ini hidup dalam keterbatasan.
Dalam kesehariannya, Ibu Lilik dibantu oleh para guru pembimbing dan wali asrama yang turut mengatur dan membimbing anak-anak di luar jam sekolah. Mereka menjalankan tugas dengan penuh kasih dan kesabaran, memastikan setiap anak merasa aman, diperhatikan, dan didukung dalam proses belajarnya.
Tak hanya anak-anak, beberapa orang tua dari siswa pun sementara ikut ditampung karena memang tidak memiliki tempat tinggal. Ini menunjukkan bahwa Sekolah Rakyat bukan hanya program pendidikan, tetapi juga bentuk nyata kepedulian sosial yang menyentuh seluruh lapisan keluarga.
Dengan mata berkaca-kaca, Ibu Lilik menyampaikan harapannya agar masyarakat turut mendukung program pemerintah ini. Menurut beliau, masih banyak kebutuhan mendasar yang belum terpenuhi, terutama bagi anak-anak perempuan yang membutuhkan pakaian dalam dan perlengkapan pribadi lainnya. “Kebanyakan anak-anak datang dengan pakaian seadanya,” ujar beliau. “Bahkan ada yang hanya memiliki satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya.”
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Sekolah Rakyat telah membuka pintu harapan, namun dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar anak-anak ini benar-benar bisa tumbuh, belajar, dan bermimpi seperti anak-anak lainnya.
Di bawah kepemimpinan beliau, Sekolah Rakyat memiliki empat rombongan belajar untuk jenjang SD, melayani siswa dari kelas 1 hingga kelas 6. Proses penjaringan siswa dilakukan melalui Dinas Sosial dan pendamping PKH (Program Keluarga Harapan), bukan melalui pendaftaran umum.
Sekolah Rakyat menerapkan pendekatan pembelajaran Tyler Mint, yang menggabungkan prinsip evaluasi kurikulum dari Ralph Tyler dengan sistem Multi Entry–Multi Exit (MIMI). Metode ini dirancang untuk menjawab kebutuhan siswa dari latar belakang pendidikan yang tidak seragam.
- Model Tyler menekankan empat pertanyaan dasar:
- Apa tujuan pendidikan yang ingin dicapai?
- Pengalaman belajar apa yang mendukung tujuan itu?
- Bagaimana pengalaman belajar diorganisasi secara efektif?
- Bagaimana mengevaluasi pencapaian tujuan?
- MIMI memungkinkan siswa untuk masuk dan keluar dari jenjang pendidikan sesuai dengan kondisi dan kesiapan mereka. Cocok untuk anak-anak yang belum pernah sekolah, putus sekolah, atau dipindahkan dari sekolah reguler karena kondisi sosial-ekonomi.
Dengan metode ini, anak-anak yang berusia 6–13 tahun dan belum bisa membaca atau menulis tetap bisa belajar sesuai fase perkembangan mereka. Kurikulum disusun berdasarkan fase, bukan usia atau kelas, sehingga setiap anak mendapatkan pengalaman belajar yang relevan dan bermakna.
Program Sekolah Rakyat tidak hanya menyentuh anak-anak, tetapi juga membantu keluarga mereka. Pemerintah turut memberikan bantuan seperti bedah rumah dan dukungan sosial lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi masing-masing keluarga. Ini adalah pendekatan holistik yang tidak hanya mengangkat anak-anak dari kemiskinan, tetapi juga memberdayakan komunitas mereka.
Sekolah Rakyat bukan sekadar ruang belajar—ia adalah ruang harapan. Di sana, anak-anak yang dulu tak terlihat kini mulai menulis masa depan mereka. Dan di balik setiap senyum lugu, ada jejak perubahan yang sedang tumbuh.(AM/W)