Oleh Karyn Rahman

Donald Trump kembali menggebrak dunia dengan kebijakan tarif timbal balik yang
kontroversial. Indonesia, bersama lebih dari 60 negara lainnya, kini menghadapi tarif sebesar
32% pada eksport ke AS. Produk unggulan seperti elektronik, tekstil, dan alas kaki menjadi
korban utama, sementara nilai tukar rupiah terpuruk hingga menembus Rp17.006 per
dolar AS.pada awal April 2025. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dampak yang Mengguncang
Kebijakan ini memicu efek domino,yang menggambarkan situasi ekonomi Indonesia saat ini.
Efek domino di sini berarti satu kebijakan memicu berbagai dampak lanjutan yang saling
berkaitan dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan. UMKM yang bergantung
pada ekspor ke AS menghadapi tekanan berat—biaya produksi melonjak, daya saing
menurun. Di sisi makro, pengangguran meningkat, dan pasar saham Indonesia terguncang.
Bahkan, surplus perdagangan Indonesia dengan AS sebesar US$17 miliar di tahun 2024
menjadi bumerang, memicu tarif tinggi yang disebut Trump sebagai “reciprocal.”yang berarti
timbal balik.

Photo sumber Google
Pemicu Kebijakan Trump dan Respons Indonesia
Donald Trump mengklaim bahwa kebijakan tarif timbal balik ini bertujuan untuk mengurangi
defisit perdagangan AS. Namun, banyak yang menilai langkah ini sebagai strategi untuk
meningkatkan pendapatan fiskal AS di tengah tekanan ekonomi domestik. Negara-negara
seperti China dan Kanada memilih untuk melawan dengan tarif balasan, sementara Vietnam
mengambil langkah pragmatis dengan menghapus tarif pada produk asal AS. Lalu,
bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memilih pendekatan diplomatis dan strategis dalam menghadapi kebijakan tarif
timbal balik Donald Trump. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa
pemerintah akan terus memitigasi dampak negatif dari kebijakan ini dengan memperkuat
daya saing domestik dan memperbaiki iklim investasi. Langkah ini bertujuan untuk menarik
relokasi industri dari negara-negara yang terkena tarif tinggi.
Dalam wawancara dengan Kompas TV pada 8 April 2025, Sri Mulyani menyatakan bahwa
Indonesia perlu melihat peluang ekspor ke negara-negara alternatif di luar AS dan China.
“Amerika hanya mencakup 25% dari perdagangan global. Kita bisa berdagang di luar negara
tersebut,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas APBN, utang, dan
defisit dengan pendekatan yang hati-hati dan transparan.
Solusi untuk Indonesia
Indonesia berada di persimpangan jalan. Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara ASEAN
dan China menjadi langkah strategis. Pemerintah juga perlu memperkuat sektor domestik,
memberikan insentif kepada UMKM, dan menjaga stabilitas rupiah melalui kebijakan
moneter yang tepat. Diplomasi ekonomi menjadi kunci untuk merundingkan kesepakatan
dagang yang lebih adil.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia berupaya mengurangi ketergantungan pada pasar AS,
sekaligus memanfaatkan momentum untuk memperkuat ekonomi domestik. Pendekatan ini
mencerminkan sikap pragmatis dan optimis sebagai strategi Indonesia di tengah
ketidakpastian global.
Peluang di Tengah Krisis
Meski penuh tantangan, kebijakan ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk
memperkuat fondasi ekonominya. Dengan strategi yang cerdas, Indonesia dapat mengubah
tekanan ini menjadi momentum untuk inovasi dan diversifikasi ekonomi.
Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan ini? Dunia sedang menunggu langkah
berikutnya.(AM/*)