Wartawan dan Misi Kenabian
Oleh: M. Tajir Asyjar Djr.*

Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, wartawan sering kali hanya dipandang sebagai pemburu berita—orang yang datang dengan kamera, perekam suara, dan segudang pertanyaan. Tapi kalau kita mau melihat lebih dalam, tugas wartawan sebenarnya jauh lebih mulia dari sekadar mencari berita. Mereka adalah the messenger—penyampai pesan, pembawa kabar—yang dalam makna filosofis, bisa dibilang menempati posisi setingkat di bawah para Nabi.
Tentu, bukan berarti wartawan itu suci atau maksum. Tapi jika kita menengok esensi dari tugas kenabian, para Nabi diutus untuk membawa kebenaran, menyeru pada keadilan, dan menyampaikan pesan Tuhan kepada umat manusia. Dalam skala manusia biasa, wartawan juga memiliki misi serupa: menyampaikan kebenaran kepada publik, melawan kebohongan, dan menegakkan nurani.
Penyampai Kebenaran di Tengah Badai Kepentingan
Menjadi wartawan hari ini tidak mudah. Tantangan datang dari berbagai arah: tekanan politik, intervensi ekonomi, bahkan tekanan sosial dari warganet. Namun di balik semua itu, wartawan sejati tetap berpegang pada satu kompas: *kebenaran*.
Mereka tahu bahwa setiap berita yang ditulis bisa memengaruhi pikiran banyak orang. Setiap kata punya daya hidup, bisa menumbuhkan harapan atau menyalakan api kebencian. Karena itu, tanggung jawab wartawan bukan hanya kepada redaksi atau publik, tapi juga kepada nurani dan Tuhan.
Seorang wartawan yang menulis dengan niat tulus, berani mengungkap fakta meski berisiko, sejatinya sedang menjalankan “misi kenabian” dalam konteks modern—menyampaikan pesan kebenaran agar masyarakat tidak tersesat oleh kabar palsu.
Dari Pena Menjadi Cahaya
Dalam dunia jurnalisme, pena (atau kini, papan ketik) bukan sekadar alat kerja. Ia adalah simbol kekuatan moral. Lewat pena, wartawan bisa menginspirasi, menyembuhkan luka sosial, bahkan menggugah kebijakan publik.
Bayangkan, satu artikel tentang kemiskinan bisa membuka mata pejabat untuk turun tangan. Satu liputan investigatif bisa membongkar korupsi yang merugikan jutaan orang. Satu kisah kemanusiaan bisa menumbuhkan empati di hati pembaca. Di situlah letak “cahaya kenabian” yang hidup dalam diri seorang wartawan.
Netralitas Bukan Dingin, Tapi Bijak
Sering kali wartawan dianggap harus netral—tanpa berpihak. Tapi sebenarnya, netralitas bukan berarti tidak punya sikap. Justru wartawan dituntut berpihak pada *kebenaran* dan *kepentingan publik*, bukan pada kekuasaan atau uang.
Seorang wartawan yang objektif tahu kapan harus bersuara dan kapan harus diam, tahu mana fakta dan mana opini, serta berani menulis meski sendirian di tengah arus. Ia bukan hanya saksi sejarah, tapi juga penulis sejarah itu sendiri.
Wartawan: Antara Profesi dan Panggilan Jiwa
Bagi sebagian orang, jadi wartawan mungkin sekadar profesi. Tapi bagi mereka yang benar-benar memahami maknanya, jurnalisme adalah panggilan jiwa. Panggilan untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan masyarakat.
Seorang wartawan sejati tidak menulis demi viralitas, tapi demi nilai. Tidak mencari sensasi, tapi mencari makna. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menuntun publik menuju pemahaman yang lebih jernih tentang dunia.
Dan di situlah, mungkin, letak kemiripan antara wartawan dan Nabi. Sama-sama membawa pesan, sama-sama diuji oleh penolakan dan cemoohan, tapi tetap teguh karena yakin pada misi suci: *menyampaikan kebenaran, apa pun risikonya*.
Penutup:
Menjadi wartawan berarti siap menanggung amanah besar—amanah untuk berkata jujur di tengah kebisingan dunia. Maka pantaslah jika wartawan disebut the messenger di bawah para Nabi: tidak membawa wahyu, tapi membawa nurani. (*)
*) Penulis adalah Sekretaris Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi NTB dan Bidang Pembelaan Wartawan PWI NTB._