Ketika Perempuan Menjadi Ibu: Antara Romantisasi dan Realitas
Ulva Hiliyatur Rosida
(Dosen & Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STAI NW Samawa)

Setiap momentum peringatan hari Ibu, perempuan yang disematkan peran oleh Tuhan yang Maha Kuasa sebagai seorang Ibu kembali ditempatkan dan dinobatkan sebagai sosok yang paling berjasa di dunia, karena pengorbanan dan kasih sayangnya yang tiada tara serta do’a – do’anya yang dipandang mampu menembus langit ke tujuh. Ia dipuja hampir di berbagai platform media sosial, menggunakan caption atau kata-kata indah nan romantis. Namun, dibalik romantisasi ini, banyak perempuan menjalani peran keibuan dalam realitas yang berbeda, penuh tuntutan bahkan minimnya pengakuan atau validasi dan apresiasi.
Saat seorang Ibu izin untuk pulang lebih awal atau kurang maksimal dalam menjalani tugasnya di tempat kerja, ia sering kali dianggap tidak profesional bahkan berpeluang dibandingkan dengan laki-laki, dan saat ia menorehkan prestasi sekalipun, terkadang itu dianggap hal wajar dan tanpa apresiasi. Begitu pula dengan ibu rumah tangga, dimana ia telah mengorbankan karir di luar rumah dan bahkan pendidikan tinggi yang telah ia tempuh, namun masyarakat kerap memandang mereka sebelah mata sebagai orang yang tidak produktif bahkan menjadi sosok yang tidak berdaya karena tidak berperan di ruang publik.
Realitas Sebagai Working Mom
Sebagai working mom atau seorang Ibu yang memiliki peran ganda bukanlah hal yang mudah. Peran ganda memiliki arti bahwa seorang Ibu memiliki peran dan tanggung jawab di dua ruang berbeda yaitu ruang publik dan ruang keluarga, dimana hal ini ini membutuhkan energi yang ekstra, waktu yang ter-manaj dengan baik, dan mental tekanan yang kuat nan kokoh. Dengan ekspektasi sosial yang tinggi disertai dengan tekanan tanggung jawab dan peran yang berlapis, seorang Ibu kerap menemui tantangan-tantangan, seperti:
Pertama, rasa bersalah. Disamping kesempatan emas yang ada untuk mengaktualisasikan diri di ruang publik, ia dihantui oleh perasaan bersalah dimana saat ia melakukan perannya di tempat kerja ia harus meninggalkan anak-anaknya, serta perasaan khawatir akan tumbuh kembangnya hingga kehilangan waktu bersama.
Kedua, kelelahan fisik dan mental. Tak sedikit seorang Ibu yang bekerja mengalami kelelahan fisik, memicu peningkatan hormon stress yang berujung pada tekanan mental yang tinggi. Hal ini karena beban ganda yang diemban, sibuk dengan perannya di rumah belum lagi dengan tugasnya di tempat kerja.
Ketiga, kurangnya validasi dan apresiasi. Sebagaimana yang disampaikan di awal bahwa pekerja perempuan terutama yang berstatus sebagai seorang Ibu kerap dipandang tidak profesional saat ia perlu izin sejenak demi anak-anak dan keluarganya, atau suatu waktu ia kurang maksimal dalam menyelesaikan tugasnya. Namun, saat ia berhasil berprestasi dalam bidangnya maupun keberhasilan dalam mendidik anak-anaknya itu dipandang sebagai hal yang wajar “ya memang seperti itu perempuan,” “ seorang Ibu ya harus begitu” dan komentar-komentar lainnya.
Realitas Sebagai Ibu Rumah Tangga
Menjadi stay at home mom atau Ibu rumah tangga juga bukanlah hal yang mudah. Ia berjuang dengan energi yang ekstra, waktu me-time yang sulit, bahkan berperang dengan stigma dan framing sosial yang kejam. Tak kalah dengan working mom, ia juga memiliki tantangan-tantangan seperti:
Pertama, beban rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya dengan model dan bentuk yang itu-itu saja alias monoton dapat menimbulkan rasa lelah yang berkepanjangan dan rasa bosan yang bertubi-tubi.
Kedua, sulitnya “me-time.” Karena beban rumah tangga yang tak pernah usai dapat membuat seorang Ibu kesulitan dalam beristirahat atau melakukan hobi yang disukai. Sehingga, hal ini dapat memicu stres dan tekanan mental yang tinggi.
Ketiga, stigma sosial. Framing atau stigma sosial kerap membuat seorang Ibu tidak percaya diri, ia merasa kerdil dan tak berdaya karena tidak dapat mengaktualisasikan diri pada ranah publik. Kicauan suara yang menyayat hati dan selalu mengusik pikiran juga kerap bermunculan “Sekolah tinggi-tinggi kok jadi ibu rumah tangga!.” “Kok di rumah aja, ngabisin uang suami!” dan framing maupun stigma negatif lainnya.
Solusi dan Dukungan
Sejatinya, tantangan terberat seorang ibu baik itu ibu pekerja maupun ibu rumah tangga bukanlah pada beratnya beban, peran, maupun tanggung jawab yang telah dipikul, namun ada pada stigma dan framing sosial. Lingkungan masyarakat yang terlalu banyak komentar dan framing, lingkungan kerja yang tidak mampu memberi ruang apresiasi dan validasi, serta rekan hidup yakni suami yang tidak pernah hadir dalam peran domestik adalah alasan dan tantangan besar bagi seluruh ibu di dunia.
Pada akhirnya, menjadi seorang ibu working mom (ibu yang bekerja) atau ibu rumah tangga bukanlah pilihan yang harus dipertentangkan dan dibandingkan, bukanlah objek penilaian yang harus dikomentari terus-menerus, melainkan tentang keadilan pengakuan dalam realitas, dimana haruslah muncul dukungan, validasi, dan apresiasi dari berbagai pihak agar “Hari Ibu” tidak hanya berwujud romantisasi belaka, namun juga aksi nyata yang dirayakan pada setiap harinya dan bukan direalisasikan hanya pada “Hari Ibu” semata.(*)