“Tindih, Malik, Merang”: Maulid Adat Sembalun Menyatukan Langit, Bumi, dan Hati
Berikut Laporan Khusus oleh Win Rahman Wartawati Anugerah Media .Com yang berhasil meliput kegiatan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Sembalun Kabupaten Lombok Timur nusa Tenggara Barat berhasil melaukan wawancara dengan sejumlah tokoh adat setempat.
Ziarah Kebersamaan
Untuk pertama kalinya, masyarakat adat Sembalun menyatukan langkah dalam perayaan Maulid Adat. Di tengah gerhana dan lantunan sholawat, tradisi dan spiritualitas berpadu dalam satu napas kebersamaan.

Gambar: Pengiringan peraja adalah prosesi sakral masyarakat adat yang berjalan bersama dari berugaq menuju Masjid Bambu Nurul Hikmah, sebagai pembuka Maulid Adat Sembalun. Simbol penghormatan, kebersamaan, dan kesiapan spiritual.
Wawancara Eksklusif
Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan, SH., MH. Ketua Majelis Adat Sasak
“Maulid Adat ini sesungguhnya adalah Syahadatein. Ia menjadi imam dari seluruh ritual adat. Sebelum Maulid Adat, belum boleh mengenakan baju adat, belum boleh melangkah ke ritual lain.”

Dr. H. Lalu Salim Sastrawan, SH., MH. Ketua Majelis Adat Sasak( photo AnugerahMedia Sumbawa)
Beliau menjelaskan bahwa Maulid Adat bukan sekadar seremoni, melainkan titik awal unggahan spiritual masyarakat Sasak. Dalam rangkaian acara, masyarakat membaca Kitab Jati Suara yang mengajarkan tiga nilai utama:
- Tindih: Etika dalam bergaul dengan sesama dan Tuhan
- Malik: Pantangan moral sebagai pagar perilaku
- Merang: Rasa malu sebagai motivasi untuk memperbaiki diri
“Kalau nilai-nilai ini ditanamkan dalam balai langga, maka desa, kecamatan, bahkan negara akan menjadi aman dan sentosa.”
Renungan Malam dan Nur Muhammad
Pukul dua dini hari, para sesepuh adat menggelar Renungan Malam. Doa tahajud dipanjatkan dalam sunyi, sebagai bentuk pembersihan hati dan permohonan keselamatan. Ritual ini menjadi perenungan terhadap Nur Muhammad—cahaya awal penciptaan yang diyakini sebagai energi hidup dari semesta.
“Maulud berarti terbit. Segala sesuatu yang berasal dari alam adalah wujud dari Nur Muhammad,” ujar salah satu pemuka adat.
Nasi Rasul kuning tanpa rasa disajikan sebagai persembahan kepada semesta yang alami. Semalam sebelum acara, langit Sembalun diselimuti gerhana—simbol transisi dari keterpisahan menuju persatuan.
Suara Pemuda

Didit Satriawan Pelopor Pelestarian Budaya( photo Anugerah Media Sumbawa)
“Selama lima tahun terakhir, masyarakat terpecah karena perbedaan pandangan antara adat dan agama. Padahal mereka belum memahami esensinya.”
Didit mengajak generasi muda untuk kembali memahami akar tradisi sebagai bagian dari identitas spiritual. Ia percaya bahwa adat bersendikan agama bukanlah kontradiksi, melainkan jalan pulang menuju jati diri.
Silaturahmi dan Kolaborasi
Silaturahmi menjadi simbol paling kuat dalam Maulid Adat. Ketika hubungan antarwarga terjalin erat, semua menjadi laku. Tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa, pemuda-pemudi, bahkan mantan bupati hadir bersama. Mahasiswa KKN turut serta, menjadikan Maulid Adat sebagai ajang kolaborasi lintas generasi dan institusi.
Harapan dan Perlawanan Lembut
“Tantangan bukan dari luar, tapi dari dalam. Jika kita terpengaruh media tanpa tabayyun, kita bisa sesat pikir, sesat akal,” tegas Dr. Sajim.
Harapannya, nilai-nilai luhur Sasak bisa dikenal dunia. “Kejujuran itu universal. Orang Lombok tidak suka bohong, orang Amerika pun tidak suka bohong. Bahkan Israel pun tidak suka bohong. Nilai itu lintas batas.”
Penutup
Maulid Adat Sembalun berdiri sebagai bentuk perlawanan lembut terhadap homogenisasi budaya. Ia adalah cerminan identitas masyarakat yang menjunjung tinggi spiritualitas, kebersamaan, dan warisan leluhur. Dalam dunia yang kian cepat berubah, tradisi ini menjadi jangkar yang meneguhkan: bahwa adat masih hidup, masih relevan, dan mampu menyatukan hati yang lama berjalan sendiri-sendiri.(AM/W)