Penulis : Taufiq,
Pembina Teknis Perbendaharaan Negara pada KPPN Sumbawa Besar
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2021, Kartu Kredit Pemerintah (KKP) merupakan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh bank penerbit Kartu Kredit Pemerintah dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang disepakati dengan pelunasan secara sekaligus. Kartu Kredit Pemerintah merupakan Kartu Kredit Korporat (corporate card) yang diterbitkan oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah. Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah merupakan bank yang sama dengan tempat rekening Bendahara Pengeluaran/ Bendahara Pengeluaran Pembantu dibuka dan kantor pusat bank tersebut telah melakukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Berbeda dengan kartu kredit personal (perorangan) yang relatif “bebas”, Kartu Kredit Pemerintah mempunyai kekhususan dalam hal penggunaannya, yakni hanya dipergunakan untuk belanja barang yang dapat dibiayai menggunakan Uang Persediaan, hanya dapat digunakan oleh orang tertentu, dan hanya dapat digunakan untuk membayar jenis tagihan tertentu.
Mekanisme penggunaan Kartu Kredit Pemerintah dimulai dengan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Bank dan satuan kerja (satker). Setelah itu akan terbit Kartu Kredit Pemerintah dari Bank bersangkutan. Satker dapat memiliki 1 (satu) atau 2 (dua) jenis kartu Kredit Pemerintah. Kartu Kredit Pemerintah terdiri atas Kartu Kredit untuk Belanja Barang Operasional Perkantoran serta Belanja Modal dan Kartu Kredit untuk keperluan belanja Perjalanan Dinas Jabatan. Jumlah Kepemilikan Kartu Kredit Pemerintah disesuaikan dengan kebutuhan dan persetujuan besaran uang persediaan pada Kartu Kredit Pemerintah.
Setelah Kartu Kredit Pemerintah diterbitkan oleh Bank Penerbit, maka pemegang kartu kredit dapat melakukan transaksi pembayaran belanja Barang Operasional serta belanja modal seperti belanja barang habis pakai, sewa, pemeliharaan maupun belanja perjalanan dinas jabatan seperti tiket transportasi dan hotel. Belanja dapat dilakukan pada toko/merchant yang menyediakan metode pembayaran dengan Kartu Kredit. Setelah transaksi dilaksanakan, maka berikutnya dilakukan pengumpulan bukti-bukti tagihan /pengeluaran /Surat Tugas/Surat Perintah Perjalanan Dinas/Surat Perjanjian/Kontrak untuk selanjutnya akan dilakukan pengujian oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk penerbitan Perintah Bayar. Perintah Bayar ini akan diverifikasi oleh Bendahara Pengeluaran sebagai bagian pertanggungjawaban dalam penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) oleh satker dan SP2D oleh KPPN dalam mekanisme Penggantian Uang Persediaan (GUP). Bendahara Pengeluaran akan melakukan pendebetan rekening atas tagihan Kartu Kredit Pemerintah.
Dengan penggunaan Kartu kredit Pemerintah diharapkan satker dapat lebih dimudahkan berbelanja serta dapat meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai, dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan uang persediaan (UP), mempercepat pembayaran biaya pelaksanaan kegiatan satker kementerian lembaga. Disamping itu Kartu Kredit Pemerintah menjadi suatu terobosan simplifikasi pelaksanaan APBN dengan memperbanyak metode pembayaran kepada penyedia barang/jasa.
Adapun tujuan penggunaan KKP adalah:
- Meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara;
- Meningkatkan keamanan dalam bertransaksi;
- Mengurangi potensi fraud dari transaksi secara non tunai, dan;
- Mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan uang persediaan.
Upaya pendekatan dan evaluasi telah dilakukan oleh KPPN Sumbawa Besar sebagai salah satu unit instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan, beberapa penyebab rendahnya penggunaan kartu kredit karena beberapa isu diantaranya:
- Adanya satuan kerja yang belum memiliki KKP, Satker sudah mengajukan ke pihak Bank namun KKP belum jadi hingga saat ini;
- Satuan kerja yang belum melakukan transaksi KKP;
- Satuan kerja berada pada wilayah yang tidak ditemui mesin Electronic Data Capture (EDC) KKP pada merchant penyedia barang maupun jasa;
- Transaksi marketplace dengan menggunakan KKP (lebih mudah menggunakan dengan tunai);
- Perpajakan dengan transaksi pada platform marketplace;
- Ketakutan dari para pemegang kartu KKP untuk menggunakan karena akan sulitnya pertanggung jawaban dan permasalahan lainnya terkait penggunaan KKP;
- Kesulitan komunikasi dengan pihak bank terkait penggantian kartu Kredit sehingga lama penyelesaiannya dan tidak ada kejelasan karena pencetakan Kartu kredit berada di Kantor Pusat Bank tersebut;
- Masih adanya pengenaan biaya transaksi (charge) ketika menggunakan KKP.
Dengan adanya kendala diatas sangat sulit bagi KPPN untuk merealisasikan dan mendorong penggunaan KKP yang efektif dan efisien padahal program KKP dibuat oleh pemerintah untuk meminimalisasi Idle Cash, menggalakkan Gerakan Non Tunai, serta beberapa fitur keamanan yang dapat membentengi dari fraud ataupun resiko memegang uang tunai. Pemakaian kartu kredit oleh satker kementerian negara dan lembaga juga akan mempercepat pelaksanaan kegiatan satker yang bersangkutan. Pelaksana kegiatan tidak perlu harus menunggu uang dari bendahara pengeluaran untuk melaksanakan kegiatannya. Sebagai contoh, untuk pegawai yang banyak melakukan perjalanan dinas, dengan adanya Kartu Kredit Pemerintah maka pelaksanaan tugasnya akan lebih efektif karena tidak perlu selalu meminta uang operasional kepada bendahara dan juga tidak perlu banyak membawa uang kas karena semua keperluannya terkait tugas seperti pembayaran tiket pesawat dan hotel dapat menggunakan Kartu Kredit Pemerintah. Melalui penggunaan kartu kredit ini juga telah mendukung program meminimalisasi peredaran uang tunai. Satuan kerja, terutama yang memiliki Uang Persediaan besar, tentunya berharap porsi 40% KKP ini dapat digunakan karena UP mereka sangat terbatas. Untuk itu diperlukan solusi yang tepat sehingga KKP ini dapat berjalan dengan baik untuk penggunaannya.
Tingginya persentase satker yang tidak menggunakan atau tidak mengaktifkan KKP mengindikasikan bahwa satker lebih nyaman menggunakan uang tunai dalam melakukan belanja. Pola pikir sebagian satker perlu diubah agar terbiasa melakukan transaksi pembayaran non tunai daripada uang tunai.
Upaya dari KPPN Sumbawa Besar dengan terus melakukan monitoring dan evaluasi serta mendorong satker untuk meningkatkan penggunaan KKP sudah sangat intensif namun hal itu perlu dibantu juga dengan kerjasama dari pihak perbankan dalam melayani satuan kerja maupun pihak merchant apabila ditemui kendala serta dukungan dari Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan agar dapat bersinergi dalam mensosialisasikan penggunaan KKP baik di level Eselon I hingga satuan kerja. Dominasi perbankan sangat besar, hal ini khususnya untuk pelayanan yang masih dihadapi terkait terbitnya kartu Kredit, masih adanya pengenaan tambahan biaya (charge) pada transaksi dan masih belum meratanya mesin Electronic Data Capture (EDC) di penyedia barang maupun jasa. Sehingga hal ini membutuhkan komitmen dari pihak bank untuk permasalahan mesin EDC dengan para penyedia barang maupun jasa karena posisi KPPN hanya sebagai mediator antara Bank dan satuan kerja serta penyedia barang. Ketersediaan mesin EDC yang terbatas dimana belum semua merchant menyediakan mesin EDC merupakan masalah klasik yang ditemui dihampir semua kabupaten terutama daerah di luar Pulau Jawa termasuk di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Untuk itu telah dilakukan koordinasi dengan bank penyedia kartu kredit agar memperbanyak penyediaan mesin EDC.
Terkait satker yang belum menerima KKP dari bank, ini disebabkan proses penerbitan KKP masih dilakukan terpusat. Hendaknya pihak bank mendelegasikan wewenang pada kantor cabang untuk melakukan penerbitan KKP. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan permintaan di Kantor Pusat bank penerbit, yang berdampak pada lamanya proses penerbitan KKP. Untuk itu perlu komunikasi dengan pihak bank agar menjadi perhatian dalam mekanisme penerbitan KKP.
Anggapan bahwa menggunakan KKP kurang efektif dan efisien tentu saja keliru. Justru penggunaan KKP dapat meningkatkan efesiensi antara lain mengurangi/mempercepat waktu transaksi sekaligus juga meningkatkan pengawasan. Dengan adanya KKP pelaksanaan tugas akan lebih efektif karena pegawai tidak perlu meminta uang operasional kepada bendahara dan juga tidak perlu banyak membawa uang tunai sehingga lebih aman karena semua keperluannya terkait tugas seperti pembayaran tiket pesawat dan hotel dapat menggunakan KKP.
Adanya praktek pengenaan surcharge terhadap transaksi KKP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Pada prinsipnya pengenaan surcharge dalam transaksi kartu kredit tidak sesuai aturan. Sanksinya pun tegas yaitu penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan merchant yang terbukti menerapkan tindakan yang merugikan diantaranya memproses tambahan biaya transaksi atau surcharge. Satker telah diminta untuk melaporkan kepada pihak Bank jika ada merchant yang masih mengenakan surcharge.
Khusus di KPPN Sumbawa Besar, berdasarkan data dari Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN), sepanjang tahun 2022 transaksi dengan KKP sampai dengan tanggal 31 Desember 2022 tercatat ada 213 transaksi dengan total nilai transaksi mencapai Rp. 881.656.071.
Berkaca dari data diatas, satker masih perlu diberikan bimbingan teknis maupun sosialisasi yang berkesinambungan terkait penggunaan dan pertanggung jawaban atas penggunaan kartu kredit serta mendorong para Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk menggunakan KKP dalam bertransaksi. Upaya harus dilakukan secara intensif dan massif oleh KPPN Sumbawa Besar untuk mendorong penggunaan KKP kedepannya demi mencapai tujuan diantaranya meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara, meningkatkan keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi fraud dari transaksi secara tunai, dan mengurangi cost of fund/idle cash dari penggunaan UP.